Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuhu..
Sahabat Insan Muslim yang dimuliakan Allah..
Shalat merupakan kewajiban Mutlak bagi seorang muslim yang wajib dijalankan dalam lima waktu sehari..
Karena Islam dibangun atas lima hal yaitu : Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunanikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan
Allah Subhannahu wa ta'ala berfirman dalam Alqur'an:
"Yang Artinya : "Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku" [Thaha : 14]
Dari ayat tersebut mengandung makna, maka dirikanlah shalat..yang berarti kewajiban bagi umat muslim untuk tetap mendirikan shalat dan kemudian menegakkannya.
Meninggalkan shalat sama halnya dengan merobohkan agama, karena shalat umpama tiangnya agama. maka logikanya jika tiang itu roboh, maka roboh dan gugur agama yang di anutnya karena sudah tidak lagi mengingat Allah subhannahu wa Ta'ala.
Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.
Lalu bagaimana jika ia lupa akan waktu shalatnya?
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata. 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa lupa shalat, hendaklah dia mengerjakannya ketika mengingatnya, tiada kafarat baginya kecuali yang demikian itu'.
Lalu beliau membaca firman Allah. 'Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini ketika menyebutkan hukum ini, mengandung pengertian bahwa pelaksanaan qadha' shalat itu ialah ketika sudah mengingatnya.
Dalam riwayat Muslim disebutkan. ”Barangsiapa lupa shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya ialah mengerjakannya selagi mengingatnya". (Muttafaq alaih).
Barangsiapa yang telah memulai shalat fardhu, kamudian dia mengingat bahwa dirinya belum shalat sebelumnya, maka dia menyelesaikan shalat yang telah dimulainya kemudian mengqadha' yang tertinggal, barangsiapa yang ketinggalan shalat asar, misalnya, lalu dia mendapatkan orang telah iqamah untuk shalat maghrib, maka dia shalat maghrib bersama imam kemudian barulah melakukan shalat asar.
Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha'nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha'nya.
Beberapa Perbedaan Pendapat Dikalangan Para ULAMA
Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya .?
Pendapat Ibnu Haja al-Haitami,
Orang yang meninggalkan solat tanpa uzur, WAJIB menggunakan seluruh waktunya untuk mengerjakan qada’ solatnya kecuali waktu untuk menguruskan hajatnya yang wajib yang tidak dapat dielakkan, seperti tidur, buang air, mencari nafkah, dan sebagainya. Haram baginya mengerjakan solat sunat sebelum diqada’kan solatnya.
Pendapat Habib Abdullah al-Haddad
Orang yang meninggalkan solat tadi diberi kelonggaran untuk mengerjakan qada’ solat fardhunya mengikut kemampuan dan kelapangan masanya, tanpa memberatkan dan tanpa pula meringan-ringankan kewajipan qada’ itu sendiri.
Pendapat ini sejalan dengan Syed Abdul Rahman , dengan berkata,
Inilah pendapat yang terlebih utama berbanding dengan pendapat para fuqahak yang mewajibkan orang yang meninggalkan solat tadi menggunakan seluruh waktunya untuk qada’ solatnya kecuali waktu untuk menguruskan hajatnya yang wajib.
Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi'i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.
Pendapat Abu Abdillah Muhammad Idris Asy-Syafi'i ra:
Asy-Syafi'i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha' shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha' ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.
Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi'i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama'ah atau memperbanyak orang yang berjama'ah atau lainnya.
Dari Abu Qatadah
“Kami pernah berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)
Dari Jabir bin Abdullah
“Bahwa ‘Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melakasanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Al-Bukhari no. 596)
Ada segolongan ulama salaf dan khalaf yang menyatakan, siapa menunda shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan, UZUR. maka tidak ada lagi qadha' atas dirinya sama sekali, bahwa qadha'nya tidak akan diterima, dan dia harus bertaubat dengan 'taubatan nashuha', harus memperbanyak istighfar dan shalat nafilah.
Kewajiban qadha' shalat diwajibkan
Orang-orang yang mewajibkan qadha' berhujjah bahwa jika qadha' ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma'afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima'afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha' ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
Kewajiban qadha' shalat tidak diwajibkan
Adapun di antara orang-orang yang tidak mewajibkan qadha' bagi orang yang sengaja menunda shalat ialah golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha' ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berati yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari'at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum'at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Barangsiapa mendapatkan satu raka'at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar", sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka'at atau kurang dari satu raka'at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Tentang tidak diterimanya qadha'
Orang yang menunda shalat hingga keluar dari waktunya, bukan berarti dia lebih ringan dari orang-orang yang diterima penundaannya. Mereka ini tidak berdosa. Kalaupun qadha'nya tidak diterima, hal itu dimaksudkan sebagai hukuman atas dirinya. Ibnul Qayyim menguaraikan panjang lebar masalah ini. Maka siapa yang hendak mengetahuinya lebih lanjut, silakan lihat kitabnya.
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam 'Al-Ikhiyarat'. Dia berkata, "Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari'atkan qadha' bagi dirinya dan tidak sah qadha'nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu'. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi'i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, 'Ar-Raudhatun Nadiyyah'.
Para ulama telah sepakat bahwa orang yang menunda shalat tanpa alasan hingga keluar dari waktunya, mendapat dosa yang besar. Namun empat imam sepakat mewajibkan qadha' di samping dia mendapat hukuman, kecuali dia memohon ampun
kepada Allah atas perbuatannya itu.
Akhirul kallam, semoga kita senantiasa dapat menjaga dan tetap Istiqamah mendirikan shalat sebagaimana memiliki waktu dengan teratur sehingga terhindar dari lupa dan alpa. dari uraian tersebut senantiasa mendapat tambahan ilmu dan bermanfaat bagi kita terlepas dari perbedaan dan kekurangan, Barakallahumma fiekh...Qullu ana wa antum bikhair, wa alaikum sallam wr. wb.
Sumber rujukan:
Kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam,dan Asy-Syarh Al-Mumti’ (2/143-148) karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar